Senin, 07 Februari 2011

ijinkan aku sekali lagi

Aku terus saja berjalan. Walaupun kurasakan gelap menghalangi langkahku yang sudah mulai gontai. Aku hanya ingin segera keluar dari ruang gelap ini. Entah sudah berapa lama aku berada di ruang gelap yang terkutuk ini. Ya terkutuk! Tidak hanya gelap, tapi juga pengap, yang memaksa aku berkali kali menarik nafas dalam - dalam. Aku harus tetap bernafas sampai aku dapat keluar dari ruang gelap dan pengap sialan ini. Kucoba rentangkan kedua tanganku kesamping, lalu kedepan. Berharap aku menyentuh sesuatu untuk dapat kujadikan pegangan yang dapat menuntun jalanku yang tak tahu arah ini. Karena aku terlalu letih, dan terlalu lemah untuk dapat terus berjalan melewati ruang ini. Tapi aku tidak yakin, apakah ini suatu ruangan. Karena aku merasa telah berjalan berkilo - kilometer kedepan, dan aku tak kunjung menemukan ujungnya. Mungkinkah ini sebuah gua, Gua panjang yang tak berujung tepatnya,. Sehingga aku takkan bisa pernah keluar. Tapi aku ingin keluar. Aku sudah terlalu bosan dan tersiksa berada di sini. Ingin aku mencoba teriak, tapi aku tak bisa. Mulutku terasa berat dan berat sekali. Terlalu berat untuk hanya ucapkan satu kata saja. Kata yang pendek sekalipun, Aku hanya ingin mengucapkan kata “Tolong!” itu saja. Tidak telalu berlebihan bukan. Aku ingin teriak “tolong!” agar ada seseorang atau sesuatu yang dapat mengeluarkan aku yang tidak berdaya dari kegelapan ini. Aku butuh sekali pertolongan kali ini. Adakah yang bisa keluarkan aku dari sini?
****
Masih saja gelap itu ada. Gelap pekat yang membungkusku rapat - rapat sampai membuat aku tak berdaya. Seakan membunuhku secara perlahan. Masih ku coba ‘tuk terus berjalan. Dengan sisa – sisa nafas dan tenaga yang masih melekat di ragaku, yang mungkin sebentar lagi nafas dan tenaga ini akan hilang tenggelam oleh letih yang menggunung. Terhenti sejenak ketika ku dengar suara. Ya! itu suara. Tapi dimana? Aku tak tahu dimana? Aku tak bisa melihat…tapi kudengar suara itu. Tidak begitu jelas. Tapi aku yakin itu suara. Ku edarkan pandang ke sekelilingku, hanya gelap, gelap pekat,hitam. Dan aku tetap tak bisa melihat.
“Iza, bangun Iza!” sepertinya aku tak asing dengan suara itu. Suara perempuan. Sepertinya aku kenal. Suara itu semakin jelas. ‘’Iza, bangun…ini ibu nak!” Ya. Itu suara ibu…Tapi aku tak bisa melihat. Sampai aku merasa melihat ada cahaya depan sana. Aku berlari, Dan aku merasa suara yang mirip ibu itu ada di cahaya itu. Aku berlari, dan ajaib…Hei, aku bisa berlari. Kencang sekali. Aku terhenti ketika kudengar lagi suara itu.”Iza…bangun!” suara itu bergetar dan semakin lirih. Tapi aku merasa aku tak terlalu jauh dari asal suara itu. Seperti suara orang yang menangis.
Kurasakan ada yang membelai rambutku. Belaian yang mengharap aku bangun dan terjaga .Apa aku belum bangun. Bukankah aku telah berlari, bahkan berkilo – kilometer di sepanjang ruang gelap tadi. Terakhir bahkan aku lari kencang sekali…Hei Ibu, aku sudah bangun. Teriakku dalam hati. Hanya bisa dalam hati.
****
Sampai perlahan gelap yang kurasakan tadi menghilang perlahan. Seiring ku berusaha mencoba membuka mata. Berat, seakan ada beban beribu ribu ton yang membebani kelopak mata ku ini. Tapi aku tetap mencoba membuka mataku.
Sontak kurasakan silau yang teramat sangat. Aku memejamkan mata lagi. Dan kudengar lagi suara itu
“Kau sudah sadar nak?”. Aku mencoba membuka mata lagi. Dan kali ini berhasil. Ku lempar pandangan ke sekelilingku dengan mata setengah terpejam. Silau itu masih saja menyerangku. Tapi kali ini tak berhasil memebuat mataku terpejam lagi. Aku melihat Ibu. Tak hanya ibu. Tapi bapak, adik, kakak. Bahkan aku melihat sudara jauh dari bapak dan ibuk yang selama ini jarang ku temui. Aku menangkap rasa kekawatiran yang ada diwajah – wajah meraka. Ya, sepertinya kekawatiran itu di tujukan kepadaku. Dari semua wajah yang kulihat, wajah ibu lah yang paling kentara tenggelam oleh kekawatiran itu. Sinar wajahnya redup, tak seperti bisanya. Biasanya aku silau oleh sinar wajah ibu yang cerah. Yang mengantarkan aku setiap aku berangkat sekolah. Aku melihat ke arah Ibu. Ibu tersenyum. Dia bahagia, dan sekali lagi membelai rambutku dengan penuh kasih sayang.
“ Kau sudah sadar Iza?” Ibu dengan suara yang setengah berbisik mendekat ke telingaku.
“Kau sudah bangun dari pingsanmu”
“Pingsan?” aku terkejut, ketika telingaku mendengar perkataan dari mulutku sendiri. Mulutku yang sedari tadi terkunci. Bahkah aku sempat merasa aku tak akan dapat mengucapkan kata – kata lagi dari mulutku.
“Ya, kau tadi mengalami kecelakaan”
“Kecelakaan?”aku bertanya pada ibu sekali lagi.
“Sewaktu pulang sekolah, kau tertabrak mobil nak” ibu menjawab sembari membelai rambutku dengan perlahan.
“Apa aku tidak apa – apa bu?” kali ini kuarahkan pandangku ke tangan, badan dan kemudian kaki ku. Tangan kananku terlilit perban.terlalu banyak lilitan perban hingga aku tak bisa melihat jari jari tangan kananku. Tangan kananku tak bisa ku gerakkan. Kucoba gerakkan kakiku. Dan aku lega masih bisa meggerakkan kakiku walaupun linu dan perih kurasakan di kedua kakiku. Terutama di sendi sendinya Lalu ku mencoba meraba kepalaku dengan tangan kiriku yang masih bisa ku gerakkan. Belum sempat aku meraba kepalaku buru – buru ibu mencegahku.
“Kepalamu terbentur aspal sewaktu kecelakaan tadi”
Aku bersyukur. Setidaknya aku masih bisa melihat anggota tubuhku masih utuh. Tangan, badan, kaki, kepala masih utuh. Walaupun tangan kananku tak bisa kugerakkan saat ini. Sekali lagi ku lihat ibu, bapak, adik dan saudara saudara – saudara. Kali ini rona wajah mereka berangsur angsur ceria. Kulihat sinar wajah ibu yang tadi redup dan keruh, sekarang mulai jernih kembali. Sedikit bersinar.
Sekali lagi kulihat anggota tubuhku. Kupastikan masih utuh.
Ku masih sempat mencoba meraih tangan ibu sebelum gelap itu datang lagi. Gelap itu menyerang lagi. Dan lagi – lagi, aku tak bisa melihat apapun lagi. Aku masuk ruangan gelap itu lagi.
*****
“Iza, bangun nak!” suara itu terdengar lagi.
“Nak ini ibu nak” Suara itu bergetar dan terdengar terbata – bata tenggelam oleh isak tangisnya.
Aku mencoba membuka mata. Dan sekali lagi berhasil. Kulihat ibu mencoba tesenyum, dengan senyuman yang terlihat di buat - buat. Hanya ingin menyenangkan dan melegakan aku. Sembari mengusap air mata dan mencoba tak menunjukkan rasa sedih itu kepadaku. Tapi aku tahu, aku bisa membaca ada kesedihan yang mendalam di raut wajah ibu. Kulihat sekelilingku, kali ini sepi. Tidak seperti tadi. Tadi kulihat ibu, bapak, adik dan sudara – saudara jauh yang lain. Suasana ini sungguh jauh bebeda dari yang tadi aku lihat. Kali ini hanya kulihat ibu yang terus menangis sesenggukan. Tangis ibu memecah, menyibak kesunyian di ruang itu. Sunyi, karena hanya ada aku dan ibu diantara dinding putih ruangan ini. Di sebelah kiri atas kulihat botol Infus. Yang tergantung pada gantungan infus besi yang mulai berkarat. Tak terawat. Tercium bau karbol yang menyengat hidungku dari segala penjuru ruangan. Bau khas rumah sakit. Ya, ini rumah sakit.
“Ibu kenapa menangis?”
Ibu tak menjawab. Malah tangis ibu semakin menjadi jadi setelah terlontar pertanyaan itu. Masih saja kulihat wajah setengah renta yang semakin tenggelam oleh kesedihan. Tapi masih tampak sangat cantik bagiku. Ku coba gerakkan tanganku.Aku ingin membelai wajah ibu dengan tanganku. Barangkali bisa meredakan tangisnya. Tapi ku tak bisa gerakkan tanganku. Ku coba sekuat tenaga, tetap tak bisa. Coba dan coba lagi. Sampai kusadari ternyata tangan yang sedari tadi coba kugerakkan, sudah tidak ada lagi. Hilang. Lenyap. Dimana tanganku?. Aku hanya membatin.Tak berani meyakinkan diri, apakah benar benar tak ada tanganku itu.
“Kamu kecelakaan, kedua tanganmu terluka parah dan harus diamputasi nak !”
Ibu berbisik padaku. Dan sekali lagi air mata ibu deras mengucur membasahi pipinya yang mulai keriput termakan usia.
Aku berusaha mengingat lagi apa yang terjadi sampai aku bisa di ruangan ini. Tapi kepala ku terasa sakit untuk mencoba mengingat kembali. Aku hanya ingat ketika mencium tangan ibuku sebelum berangkat sekolah. Hanya itu yang kuingat. Selebihnya aku tak ingat. Kepalaku terasa berat sekali. tak hanya berat. Tapi juga sakit.
Aku hanya menatap wajah ibu yang terus bersedih. Aku tak berani melihat keadaan bekas tanganku yang telah hilang diamputasi. Yang bisa kulakukan sekarang hanya menatap wajah ibu yang tenggelam oleh badai kesedihan. Aku ingin sekali membelai wajah ibu dengan kedua tanganku, ingin…ingin sekali. ya ! dengan kedua tanganku. Tapi aku tak bisa.
Aku sangat menyesal kerena tak pernah memebelai wajah ibu dengan kedua tanganku sewaktu masih ada. Ijinka aku sekali lagi…
Dan aku hanya bisa berharap semoga ini hanya mimpi. Aku ingin memejamkan mata sekali lagi. Aku ingin masuk di ruangan gelap itu lagi. Dan saat membuka mata, aku berharap menemukan suasana yang berbeda lagi. Tidak seperti ini. Aku ingin membelai wajah ibu. Ijinkan aku sekali lagi…
(Pernah dimuat di Deteksi Jawa Pos)
Malang, Jawa Timur: 16 Desember 2007

Bagus dan uang kiriman

“Telur, tempe, sama sayur. Semua berapa bu?”. Tanya Bagus sambil membuka dompet.
“Tujuh ribu lima ratus mas …”. Jawab ibu penjaga warung, ramah. Bagus mengambil satu lembar sepuluh ribuan dari dalam dompet. Tersisa dua lembar sepuluhan ribu dan selembar lima ribuan. Bagus masih mematung di depan pintu warung sambil menunggu uang kembalian dari ibu penjual. Terdiam sambil pikiranya melayang. Melayang mencari cara agar dengan sisa uang yang ada didompetnya dia bisa bertahan sampai akhir bulan. Sampai datang kiriman lagi dari bapaknya. Waktu seakan lambat berjalan. Seolah-olah menguji dirinya hidup dengan uang yang terbatas. Ya harus bagaimana lagi. Sebagai anak kost yang jauh dari rumah, tak heran kalau Bagus hanya bisa mengandalkan uang kiriman dari bapaknya dari kampung.
***
Bagus mengurung diri dalam kamar kostnya yang sempit. Kamar kost yang sempit itu pun dia sewa berdua dengan temannya, agar uang sewa bulanan bisa lebih ringan. Bagus hanya bisa mencari kost yang sempit dan jauh dari kata nyaman. Disesuaikan dengan uang bulanan dari bapak Bagus dari kampung. Bapak Bagus adalah seorang petani. Bukan petani besar. Tetapi bapak Bagus mempunyai keinginan besar untuk menyekolahkan anaknya ke jenjang yang lebih tinggi. Agar kelak tak menjadi petani kecil macam dia. Bapaknya menginginkan Bagus menjadi orang yang berhasil. Paling tidak bisa membantu sekolah untuk adik-adiknya yang masih kecil. Orang tuanya menaruh harapan yang besar di pundak Bagus.
Seakan Bagus tidak merasa dibebani harapan yang lebih oleh orang tuanya, Bagus mengumpat dalam hati. Kenapa dia dilahirkan miskin seperti ini. Kenapa dia tidak dilahirkan sebagai anak dari orang kaya serba berkecukupan. Kenapa dia tidak mempunyai orang tua yang sanggup memberi uang bulanan yang lebih. Bagus kini menjadi orang yang tak bisa bersyukur. Dia lupa kalau teman-temanya yang ada di desa banyak yang hanya tamat SMP saja. Dia lupa kalau teman-temanya dikampung setiap hari hanya bergelut dengan lumpur sawah, atau dengan hewan ternaknya. Tak seperti dirinya sebagai mahasiswa, yang tiap hari hanya duduk manis mendengarkan dosen memberi kuliah. Bagus lupa bersyukur.
***
Bagus membuka dompetnya. Hanya tersisa dua lembar lima ribuan. Bagus menghela napas panjang. Dia mengurungkan niatnya untuk sekedar isi pulsa handphone bututnya. “Mending buat makan dulu aja deh.”. Kata Bagus dalam hati. Sambil tersenyum kecut. Seminggu lagi ada ujian tengah semester. Bagus harus membayar uang patungan tugas kelompok. Belum lagi potocopy matakuliah-matakuliah yang tak sempat dicatat karena kemalasannya. Bagus sekali lagi melihat dompetnya. Tak terhitung sudah berapa kali Bagus melihat isi dompetnya. Hanya tersisa dua lembar uang lima ribuan. Tetap dua lembar lima ribuan. Bagus memutar otak. Mau tak mau Bagus harus pulang ke rumahnya di kampung. Awal bulan masih lumayan lama. Bagus harus pulang untuk meminta uang lagi untuk keperluan ujian tengah semester di kampusnya. Dia akan meminta agak lebih. Selain untuk keperluan Ujian, sudah lama juga Udin tidak menonton film di bioskop bersama-sama teman kelasnya. Untuk biaya transport pulang, Bagus meminjam uang dari teman kostnya. Bagus berjanji segera mengembalikan uang yang dia pinjam, sepulang dia dari rumah.
“Tenang bos…kalau udah balik pasti aku balikin kok uangmu”. Kata Bagus meyakinkan temannya, sambil menempelkan selembar uang lima puluh ribuan hasil pinjaman dari temannya itu di keningnya. “Lumayan..!” katanya dalam hati.
***
Bagus berpangku tangan sambil melemparkan pandangan ke arah luar jendela bus. Sementara otaknya berpikir menyiapkan kata-kata yang pas untuk bapaknya. Kata-kata yang nantinya bisa membuat Bagus mendapat uang bulanan tambahan dari bapaknya. Disamping itu Bagus sudah cukup rindu untuk pulang kampung. Rindu kepada teman-teman sepermainannya. Rindu suasana kampung yang jauh berbeda dengan susana kota tempat sekarang Bagus kuliah. Bagus sudah menyiapkan cerita-cerita untuk teman-temanya bagaimana kehidupanya di kota besar. Dia tak sabar melihat reaksi teman-teman kampung mendengar ceritanya. Dia tak sabar mendengar decak kagum teman-temannya setelah mendengar cerita hebatnya nanti. Tak terasa laju bus telah membawa tubuh Bagus hampir sampai ke tempat tujuan. Rumahnya. Sengaja Bagus tak memberitahukan kepulangannya kepada bapaknya ataupun ibunya. Soalnya dia pulang juga tidak dalam waktu yang lama. Dia hanya ingin meminta uang tambahan dan segera kembali ke kota. Karena ujian tengah semester sudah menunggu.
***
“Kiri mas…”. Bagus memberi aba-aba berhenti kepada kernet yang telah berdiri di samping pintu bus.
“Sini mas ?”.
“Iya mas, pas pertigaan ya..”. Jawab Bagus.
“makasih mas..”. Kata Bagus sembari melompat turun dari bus yang ditumpanginya. Bagus sejenak melihat sekeliling. Pertigaan tampak sepi. Bagus menebak dalam hati. Biasanya ada yang punya hajat kalau suasana sepi seperti ini. Bagus pun segera beranjak dari tempat dia berdiri. Ringan sekali Bagus mengayunkan langkahnya kali ini. Tak seberat langkahnya ketika harus berjalan ke kampus untuk kuliah pagi. Beberapa saat lagi dia akan sampai di rumahnya. Hanya beberapa ratus meter dari pertigaan dari tempatya turun dari bus. Rumahnya telah terlihat. Tampak ramai dengan berbagai aktifitas didalam rumahnya. Orang keluar masuk rumahnya dan tampak panik. Berbagai sangat penasaran. Di depan rumah agak kesamping, terpasang bendera putih berkibar diterpa semilir angin sore. Telah banyak orang berkerumun di rumahnya. Bagus mempercepat langkahnya. Dia menyibak kerumunan warga yang berkumpul di pintu rumahnya. Dia menemukan Ibu dan adik-adiknya sesenggukan menangis di dalam rumah.
“Ada apa bu?”. Tanya Bagus setengah teriak. Penasaran
“Bapakmu nak…”.
“Bapak kenapa bu…??”. Wajah Bagus memucat. Peluh pun mengalir.
Ibunya terdiam sejenak. Bagus mengedarkan pandangan ke penjuru rumah. Bagus menemukan Jenazah bapaknya telah terbujur kaku tergolek di ranjang bambu di sudut rumah.
“Bapakmu meninggal Gus. Bapakmu terkena serangan jantung saat bekerja di sawah tadi ”.
“Dia bekerja terlalu keras. Padahal ibu sudah melarang bapakmu Gus..”. Jawab ibu Bagus terbata-bata.
Bagus teringat bapaknya mengidap panyakit jantung. Bapaknya tidak mau berobat, apalagi operasi. Dia memilih uangnya lebih baik ditabung buat biaya Bagus masuk kuliah nanti.
Bagus tertunduk. Dia tidak dapat lagi melihat sosok bapaknya. Dia terlambat untuk bangga kepada bapaknya. Bapaknya yang banting tulang untuk keperluan keluarga dan terutama untuk biaya kuliahnya. Bagus sudah tak memikirkan lagi uang bulannanya. Uang bulanan yang kurang, sehingga terpaksa membuat dia ada di rumah seperti sekarang ini. Dia hanya ingat bapaknya. Bapaknya yang telah terbujur kaku. Bapaknya yang sangat bangga ketika melihat anaknya berhasil kelak. Bukan anak yang selalu mengeluh uang bulanan yang kurang. Bagus hanya bisa menangis.
****

aku dan buku harianku

Berhenti menulis buku harian.Ah..apa yang barus saja aku lakukan. Entah sudah berapa lama aku gak menulis buku harian itu. Dulu selalu ada waktu kira-kira setengah jam untuk membelai buku itu. Sekarang? hanya menjadi barang yang terlupakan kau buku harianku. Dulu setiap pagi, antara jam 8-11 siang, aku selalu bersama. Tenggelam dalam cerita-cerita yang aku tuangkan dalam goresan pena di setiap lembarmu. Mungkin aku sedang muak dengan keseharianku. Aku enggan menuangkan lagi kisahku di lembarmu buku harianku. Bagaimana tidak, setiap hari hanya berkutat rumah, rumah dan rumah. Aku masih belum bisa kemana-mana. Cidera patah tulang paha ini memkasaku berisitrahat lama di dalam rumah. Tak apalah,..sabar ya buku harian. kelak kau bakal ku corat-coret lagi. Dengan cerita yang lebih berwarna tentunya. ku akan menulis lagi dilembar demi lembarmu setelah semua ini berakhir. Dan itu takkan lama lagi. Percayalah. Aku masih punya mimpi bersamamu. Mimpi untuk membuka, menulis dan membacamu kelak. Kelak ketika ada orang yang terpilih disampingku. Aku yakin masa itu akan terjadi. Maaf sementara ini aku tak menyentuhmu..
(Sambil memandang buku harian )

STAKNAN

Biarkan pikiran melayang bebas. Terbang jauh entah kemana. Melintasi batas suatu wilayah atau bahkan menerabas batas imagi. Lalu aku berteriak ''hei,..ada di dimana aku?''. Biarkan saja. Tugas mu hanyalah ambil alat tulis, atau tekan tut tuts keyboardmu. jejakkan kisahmu pada goresan penamu dalam kertas putihmu. ceritakan pada Dunia, atau bahkan lain dunia. Terserah kamu.
Kenapa kau hanya diam saja? kenapa kau biarkan pikirkan terbelenggu pada satu titik. Staknan. satu kata yang memuakkan !!
kau biarkan pikiranmu Membatu tak berguna, hanya mengalir mengikuti arus. Arus yang kau sendiri tak tau kemana dia akan membawamu. Memalukan, bukankah kau punya otak dan pendirian. Ah,..semoga hanya mati suri.
Semoga hanya mata pensilku yang tumpul. Yang bisa ku raut lagi dan kembali tajam. Bukan pikiranku yang mengerak dan tumpul, karena terlalu lama Diam. Semoga hanya mati suri,...
..dan aku hanya ingin, kertas putihku kembali terisi dengan coretan coretanku lagi.
seperti yang dulu.. that's all

kertas putihku

Ada yang berubah dengan kertas putihku yang sekarang. Kini jadi kusut, kusam berdebu. Membuat hati enggan untuk menorehkan kata kata puitis lagi. Padahal sudah segunung kata kata yang kurangkai menjadi bait yang siap kutuliskan kepadamu. Kenapa kau berubah kertas putihku. Kenapa kamu jadi lain? bisakah kau kembali seperti yang dulu. Tak kusut sedikit pun, putih bersih. Lalu kemana lagi jika hati menuliskan puisi?bukankah puisi puisi (yang ku anggap indah) yang kusimpan ini hanya untuk menghiasi lembaran demi lembaranmu. Jangan memaksaku untuk mencari kertas putih yang lain untuk menuliskan kata kata (yang kuanggap indah) ini kertas putihku. Aku masih ingin kamu,... Kembalilah seperti semula. Pena pena cintaku akan menghujam deras untuk menuliskan bait bait dengan kata kata merah jambu yang menggoda. Tak maukan kamu???

kemana lagi aku harus menulis puisi kalau bukan di dirimu???

(Semua berubah dari senin, 1 februari 2009, setelah magrib

tak ada judul

Biarkan pikiran melayang bebas. Terbang jauh entah kemana. Melintasi batas suatu wilayah atau bahkan menerabas batas imagi. Lalu aku berteriak ''hei,..ada di dimana aku?''. Biarkan saja. Tugas mu hanyalah ambil alat tulis, atau tekan tut tuts keyboardmu. jejakkan kisahmu pada goresan penamu dalam kertas putihmu. ceritakan pada Dunia, atau bahkan lain dunia. Terserah kamu. Kenapa kau hanya diam saja? kenapa kau biarkan pikirkan terbelenggu pada satu titik. Membatu tak berguna, hanya mengalir mengikuti arus. Arus yang kau sendiri tak tau kemana dia akan membawamu. Ah,..semoga hanya mati suri. Semoga hanya mata pensilku yan tumpul. Yang bisa ku raut selanjutnya...

MATI SURI

Lompatanku tak lagi tinggi...
Nyaliku tak lagi berani,..
lariku tak lagi kencang
Teriakanku tak lagi lantang,..
Pandanganku tak lagi tajam,..
Kejelianku tlah banyak berkurang,..
bagaimana bisa menunjukkan 'Ini aku !! '
ketika pena ini tak taajam lagi menorehkan tulisan di kertas putihku??
(24 februari 2010)